Dari Kang Dedi Mulyadi Untuk Guru

Kamis, 07 Jun 2018 | 09:35:32 WIB - Oleh Nurdin Cahyadi | Dibaca 3838


Dari Kang Dedi Mulyadi Untuk Guru
   

Pendidikanpurwakarta.com--Guru Ratu Wongatua Karo adalah ungkapan yang sering saya dengar sejak kecil hingga hari ini.

Inti dari ucapan itu adalah mendudukan seorang guru, pemimpin dan orang tua dalam suatu kedudukan yang sama yaitu seseorang yang harus ditaati petuah dan titahnya.

Dalam sejarah kebudayaan sunda dikenal dengan 'tri tangtu di buana', rama, resi dan prabu, yaitu orang tua, guru dan pemimpin sebagai pondasi utama bagi kemuliaan sebuah bangsa.

Ketiganya menyatu dalam siklus pendidikan tradisi yang secara umum sampai hari ini digunakan secara paripurna oleh pesantren nahdliyyiin.

Kegenitan kita yang tidak mempercayai sejarah peradaban bangsa telah mengalihkan arah Pendidikan menjadi berbasis akademis yang berorientasi pada pendekatan basis material akademik, jumlah pelajaran dan metodologi yang cenderung mengedepankan otak.

Pendekatan emosional guru dan murid yang dibuat dalam watak akademik telah melahirkan keterpisahan guru dan muridnya.

Pendekatan profesionalisme guru yang hanya didasarkan pada penjenjangan pendidikan dengan mengesampingkan moral dan spiritual seringkali menyeret guru pada keruntuhan wibawa di depan muridnya.

Di sisi lain, berbagai perangkat aturan yang membatasi guru dengan dalih perlindungan hak-hak anak telah membuat anak di Indonesia mengalami kebebasan yang luar biasa.

Kini, mereka bebas berbicara apapun tanpa batas, bebas berkendaraan bermotor pada usia dini, bebas main game sepuasnya, bebas nonton film sepuasnya dan bebas keluar malam sepuasnya.

Kebebasan ini telah melahirkan watak manusia yang tidak bisa lagi ditegur atau diperingatkan. Kebiasaan itu bebas tanpa batas, sejak di rumah, berasal dari tradisi keluarga.

Teguran dari ibu dan ayah nyaris tak terdengar, malah kecenderungannya terbalik, ibu dan ayah tidak berdaya atas teguran anak. Tetapi, saat anaknya ditegur orang lain, seringkali orang tuanya mengalami ketersinggungan dan melakukan pembelaan membabi buta.

Peristiwa meninggalnya Pak Guru Ahmad Budi Cahyono di Sampang, Madura adalah fenomena bencana dalam iklim pendidikan kita, iklim yang mengatur hubungan guru dan murid, iklim yang mengatur hubungan keluarga, iklim kebebasan tanpa pengawasan.

Kebiadaban murid tersebut adalah sebuah realita budaya bahwa ada yang salah dalam sistem dan tata kelola pendidikan dan keluarga kita.

Atas nama zaman now, tidak mesti kita meninggalkan tradisi yang terbukti sakti. Atas nama zaman now, tidak mesti kita secara bulat menelan pola berpikir kebebasan tanpa pengaturan dan pengawasan.

Di Negara maju, anak-anak dilindungi dari perilaku kekerasan tetapi mereka juga diawasi dan didampingi oleh orang tuanya. Mereka tidak bebas berkeliaran, mereka tidak bebas merokok, mereka tidak bebas keluar malam, dan mereka tidak bebas membeli minuman.

Apalagi Jepang, Negara yang memproduksi motor dan barang elektronik serta segala piranti zaman now, tetapi anak-anaknya masih tetap berjalan kaki, masih tidur siang di kelas karena disiapkan waktunya oleh guru, masih belajar kimono, belajar membuat teh dan belajar memotong ikan salmon.

Anak-anak harus tetap menjadi anak-anak, orang tua harus tetap menjadi orang tua. Bukan terbalik, anak-anak berlaku seperti orang tua, sementara orang tua malah kekanak-kanakan.

Terakhir, atas nama bangsa dan kemanusiaan, saya menyampaikan ucapan duka yang terdalam kepada keluarga Ahmad Budi Cahyono. Semoga kemuliaan dan kesyahidan menyertai Pak Guru kembali ke pangkuan Allah SWT. [*]



Tuliskan Komentar
INSTAGRAM TIMELINE